Ahlan Wa Sahlan Ya
Ramadhan
Oleh Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
وَإِنَّهُ
لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ
“Dan
sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan
bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab”
(QS Az-Zukhruf: 44).
Ketika
Allah Swt.. menjadikan Islam sebagai rahmat buat alam semesta; ketika Allah
Swt. menghendaki dari umat Islam menjadi umat terbaik; ketika Allah Swt.
menghendaki agar umat Islam mampu memikul amanah untuk memimpin dunia ini;
ketika Allah menghendaki agar umat Islam menjadi saksi bagi seluruh umat
manusia, maka ketika itulah Allah Swt. mempersiapkan umat Islam sedemikian
rupa, agar umat Islam ini layak menjadi umat yang terbaik. Di antara sarananya
adalah dengan pembentukan manusia yang bertaqwa. Pembentukan manusia yang
bertaqwa inilah yang banyak dilupakan manusia, sehingga ukuran kemajuan atau
ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan paradigma materi. Lupa bahwa manusia
itu bukan hanya dari unsur materi saja, tetapi manusia punya nurani yang harus
diperhatikan, yang harus dibina sehingga pantas untuk menjadi manusia yang
terbaik. Oleh karena itu Ramadhan hadir di tengah-tengah kita dalam rangka
untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang layak memimpin dunia ini.
Di
dalam bulan Ramadhan banyak sekali kebajikan ilahi yang harus kita dapatkan,
sehingga kita keluar dari bulan Ramadhan ini benar-benar menjadi manusia
terbaik, manusia yang berkualitas, manusia yang berprestasi. Oleh karena itu
marilah kita berupaya benar-beanr memahami puasa itu sebagaimana yang
diharapkan Allah Swt.
Pertama, puasa
membentuk manusia yang mengoptimalkan kontrol diri (self control). Mengapa? Karena puasa sangat terkait dengan keimanan
seseorang. Seseorang bisa saja mengatakan dirinya sedang berpuasa, sekalipun
sebenarnya tidak. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara
seorang hamba dengan Al-Kholiq. Sampai-sampai Allah Swt. mengatakan dalam
sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu
‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi
(setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa
itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya)”. Pertanyaannya adalah apakah amal
selain puasa tidak dibalas Allah? Dibalas. Tetapi kenapa dalam masalah puasa
Allah menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang
lain itu bukan Allah yang membalasnya? Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa
amal manusia yang bernama ash-shiyam
benar-benar insya Allah akan dijamin diterima oleh Allah Swt. Apakah yang lain
tidak dijamin? Ini karena puasa itu adalah ibadah
sirriiyyah, dimana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika dia
berpuasa. karean ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu. Maka
ibadah yang sirriyyah itu adaah sangat dekat dengan keikhlasan. Dan syarat agar
suatu amal itu diterima oleh Allah, selain harus benar sesuai dengan ajaaran
Rasulullah Saw., harus ikhlas. Makanya kalau ingin menjadi orang yang populer,
tidak bisa melewati pintu puasa. Kalau terkenal sebagai seorang mubaligh, bisa.
Terkenal menjadi qori’ dan qori’ah, bisa. Terkenal menjadi
politikus, bisa. Dan itu semuanya sangat rawan dengan riya’, dan riya’ itu menjadikan
amal tidak diterima oleh Allah Swt. Itulah
sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa ini Allah menegaskan bahwa
Dia sendiri yang akan membalasnya. Inilah yang dikatakan bahwa puasa akan
melatih kita untuk mempunyai tingkat kontrol yang tinggi, baik ketika kita
menjadi seorang pemimpin, atau karyawan, ulama’ atau yang lainnya. Kita tidak
merasa dikontrol oleh yang lainnya, akan tetapi yang terpentinga dalah bahwa
kita sadar bahwa kita dikontrol oleh Allah Swt.
Yang
kedua,
lembaga shiyam ini mendorong kita
agar kita agar obsesi kita tentang kehidupan akherat itu lebih dominan daripada
obsesi dunia. Jadi obsesi ukhrowi kita, agar kita menjadi hamba Allah yang akan
mendapatkan kenikmatan abadi, itu harus lebih dominan daripada kesenangan yang
sifatnya sementara. Karena seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini, nikmat apa
pun namanya, harta, pangkat, dan sebagainya itu semuanya bersifat sementara.
Makanya dalam bahasa Al-Qur’an kenikmatan dunia itu tidak disebut nikmat, akan
tetapi disebut mata’. Mata’ itu arti adalah maa yatamatta’u bihil insan tsumma yazulu
qoliilan-qoliilan (mata’ adalah
sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan
hilang)”. Kalau kita ditakdirkan Allah mempunyai istri yang sangat cantik,
ketika sudah berusai 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga
mungkin kita berpikir mencari yang masih muda lagi. Kenapa? karena kenikmatan
dunia itu pasti ada batasnya. Ini adalah halyang manusiawi. Puasa itu melatih
kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang tentang kehidupan
yang abadi di akhirat. Makanya makanan, minuman, istri, dan semua yang halal
itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Di
negara kita yang sedang terkena krisis multi dimensional ini dan dipenuhi
dengan kerusuhan, disebabkan karena banyak manusia di negara ini ytang
obsesinya bukan obsesi ukhrowi. Ada
orang yang ingin menjatuhkan orang lain, ada orang yang khawatir kalau-kalau
dijatuhkan. Kalau obsesi duniawi ini dominan, bisa-bisa kita akan kehilangan
kehidupan ukhrowi kita. Ketika kita memasuki bilan Ramadhan, maka kita akan
ditarbiyah oleh Allah agar obsesi kit aadalah obsesi ukhrowi. Namun ini bukan
berarti kehidupan duniawi dilarang. Akan tetapi duniawi itu bukan yang dominan
dalam kehidupan kita. Makanya kita diajarkan untuk berdo’a “Walaa taj’al mushiibatana fii diinina, walaa taj’aliddun-yaa akbaro
hammina (jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan
kami), walaa mablagho ‘ilmina, walaa
ilannaari mashiirona. Do’a ini sering dibaca, akan tetapi dalam
perbuatannya warnanya lain.
Yang ketiga,
dari lembaga shiyam ini akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benanr
mempunyai al-hasasiyyah al-ijtima’iyyah
(mempunyai kepekaan sosial yang tinggi). Dari mana bisa kita ketahui? Ketika
kita berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh, kita merasakan berpuasa sendirian. Dibandingkan
dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah ini perasaan kita lebih berat,
karena dilaksanakan sendirian. Ini yang harus kita perhatikan, sekarang ini
bangsa kita (sebagian besar) sudah kehilangan kepekaan sosial. Kalau ada tindak
kejahatan di tempat keramaian, sangat langka kita temukan orang yang peduli
dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita yang sangat cantik lewat dan
hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang memprotes hal itu? Padahal,
bukankah wanita itu isterinya orang yang haram untuk dipelototi? Bahkan
perbuatan seperti ini kadangkala diberikan pembenaran dengan dalih ‘mubadzir’ kalau tidak dilihat. Ini
menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan
sosial, karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika
melihatnya. Padahal di masa Rasulullah SAW, orang tidak akan tinggal diam
ketika melihta suatu kemungkaran. Bahkan ketika jauh setelah kehidupan
Rasulullah, baik di jaman tabi’in
maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka
masih komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi.
Misalnya, di jaman dahulu kalau kita shalat jama’ah di masjid, kemudian kita
melihat ada tetangga atau saudara kita tidak datang, maka setelah selesai
shalat, semua jama’ah langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah
tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalh
orang yang mati sehingga perlu dita’ziyahi.
Kalau seandainya kita tidak shalat jama’ah dan kemudia kita dita’ziyahi, maka kita akan termotivasi
untuk selalu shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat
terkait dengan sensitifitas sosial. Ironisnya di negara ini ketika ada orang
diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja, dan bisikan yang ada
dalam dirinya adalah ‘yang penting saya
selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang mati dalam kehidupannya,
karena bahasa masing-masing itu
bahasa akhirat, bahasa ketika kiamat tiba, sehingga orang sibuk dengan
urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari
orang tuanya. Allah berfirman:
“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan
sangkalala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu
dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari
itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya” (QS ‘Abasa: 33-37).
Jadi
kehidupan masing-masing itu adalah kehidupan akherat. Akan tetapi sekarang ini
sudah ada di dunia., Berarti seolah-olah sebagian masyarakat sudah merindukan
kematian, padahal masih hidup. Makanya banyak kebajikan yang tidak jalan,
keadilan tidak tegak. Dalam kondisi demikian, puasa hadir di tengah-tengah kita
untuk memperlihatkan bagaimana Islam itu benar-benar mempunyai kepedulian
terhadap kehiduapan bermasyarakat.
Pada
masa Rasulullah Saw., ada juga kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat,
karena mereka bukan malaikat. Sekalipunsebaik-baik generasi adalah genarasi
Rasulullah Saw., akan tetapi ada saja yang berbuat maksiat. Ada yang pernah mencuri, ada yang pernah
berbuat zina dan yang lainnya. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil
sekali, sehingga jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Ironisnya, sekarang maksiat itu dilakukan ramai-ramai dan
secara terang-terangan tanpa malu-malu. Sehingga yang benar itu tertutup,
keamanan tidak nampak. Yang nampak adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan
kadang-kadang sampai di tempat yang suci seperti masjid, kadang-kadang orang
tidak bisa khusyu’ shalatnya karena takut sepatu atau sandalnya hilang. Kalau
di masjid saja orang masih tidak khusyu’ beribadah karena khawatir menjadi
korban kejahatan, bagaimana di tempat yang lain? Ini semua karena bayak orang
yang telah kehilangan kepedulian sosialnya. Inilah bedanya antara jaman kita
dengan jaman Rasulullah Saw. Bahkan di masa Rasulullah Saw., ketika ada seorang
berbuat zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudian bertaubat dan malah
dia sendirilah yang melakukan perbuatannya itu kepada Rasulullah Saw., karena
ketika dia berzina, itu terjadi karena kelemahamn iamnnya. Dalam hadits
dijelaskan “Laa yadri azzani ila yazni
wahuwa mu’min (tidaklah seseorang berani berbuat zina ketika zina,
sementara dia dalam keadaan beriman)”. Ketika seorang perempuan tadi berzina,
dan setelah itu ia sadar bahwa ia telah berbuat dosa, langsung dia datang
kepada Rasulullah Saw. minta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam. mari
kita merenung. Memang benar bahwa pada masa Raulullah pun ada orang yang
berbuat salah. Akan tetapi ketika ada diantara mereka yang berbuat salah, dia
langsung mengaku dan minta dihukum, padahal oranmg lain tidak tahu. Sekarang
bagaimana kondisinya? Jadi kalau kita bersalah, hendaklah kita datang untuk
minta dihukum. Kenapa? Karena seorang mukmin yang benar-benar beriman,
benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih. Dengan demikian,
benar-benar akan efisien tenaga itu. Kalau seandainya semua orang sama dengan
wanita yang bertaubat ini, maka aparat hukum tidak perlu capai-capai.
Ash-shiyam secara
bahasa artinya adalah al-habsu
(menahan diri), menahan diri dari seluruh bentuk kemaksiatan. Kalau setiap kita
menahan diri, jangankan terhadap yang haram, yang mubah saja akan kita
tinggalkan. Makanan, minuman, istri itu kan
boleh. Akan tetapi di bulan Ramadhan pada siang harinya semua bisa kita tahan.
Kalau yang halal saja bisa kita tahan, apalagi yang haram? Oleh karena itu
jangan dalam berpuasa malah terbalik, yaitu yang mubah ditinggalkan tetapi yang
haram dilakukan. Makanan, minuman ditinggalkan, ghibah dilakukan, korupsi jalan
terus, dengan alasan untuk persiapan lebaran.
Inilah
kepekaan-kepekaan ruhani yang benar-beanr mengalir dalam setiap diri kita
ketika kita berpuasa sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Dan jangan sampai
ada di antara kita yang menganggap bahwa puasa itu berat. Bahkan Rasulullah
Saw. dan para shahabat serta para tabi’in, banyak yang menggunakan Ramadhan
untuk berjihad di jalan Allah Swt. Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi pada abad ke-7
Hijriyah, dimana tentara-tentara Islam di bawah pimpinan mamaalik (jama’ dari mamluk) bisa mengalahkan tentara-tentara
salib, terjadi di bulan Ramadhan. Saking hebatnya kemenangan yang dicapai umat
Islam pada bulan Ramadhan, Allah Swt. mengabadikannya dalam Al-Qur’an,
sebagaimana yang terdapat pada QS Al-Anfal, dimana perang Badar dikatakan
sebagai yaumal furqoon, sebagaimana
yang terdapat pada firmanNya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) dihari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha
Penguasa segala sesuatu” (QS Al-Anfal: 41).
Pasukan
kebenaran yang jumlahnya sedikit, tetapi dimenangkan oleh Allah Swt. dalam
melawan kekuatan bathil yang mempunyai kekuatan besar dan jumlah tentara yang
sangat banyak. Oleh karena itu Ramadhan yang akan kita lalui ini semoga
mengantarkan kita pada kemenenagan, kemenangan melawan hawa nafsu, kemenangan
bangsa ini dalam melawan krisis, kemenangan umat Islam dalam melawan
perselisihan, percekcokan antara sesama umat Islam, kemenangan bangsa ini dalam
menghadapi konspirasi dunia internasional yang dimotori oleh Yahudi, yang
mereka tidak senang melihat Indonesia maju karena negara ini adalah negara
Islam. oleh karena itu marilah kita jadikan Ramadhan ini kita jadikan momentum
Islam untuk kembali kepada Allah sehingga mencapai kemenangan yang hakiki. Wallahu a’lam bishshawab.
dengan banyaknya cermah-cermah yang bertebaran di media internet. mudahan banyak orang yg tersentuh untuk menyampaikannya secara nyata.
BalasHapusaamiin,, tetep semangat berjuang :D
BalasHapus